Sabtu, 06 Oktober 2007

Hukum Membaca Shadaqallahul ‘Azhim

Pertanyaan:
Assalammualaikum…Mau tanya, apakah ada dalilnya membaca bacaan Shadaqallahul azhim di setiap selesai membaca Al Quran ?

Jawaban:
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuhu
Pertanyaan saudara merupakan pertanyaan yang pernah diajukan kepada Lajnah Da’imah Saudi Arabia (Komite Fatwa di Saudi Arabia, semacam MUI di Indonesia). Maka kami akan mencukupkan diri dengan membawakan jawaban dari pertanyaan tersebut. Berikut jawaban dari Lajnah Da’imah mengenai pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan anda:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du.
Ucapan shadaqallahul azhim setelah selesai membaca Al-Qur’an adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, demikian juga para Khulafaur Rasyidin, seluruh sahabat dan para imam Salafus Sholih, padahal mereka banyak membaca Al-Qur’an, sangat memelihara dan mengetahui benar masalahnya. Jadi, mengucapkan dan terus menerus mengucapkannya setiap kali selesai membaca Al-Qur’an adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.
Diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:
Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya Allahlah yang mampu memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
(Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah, fatwa nomor 3303, disadur dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2 penerbit darul haq)
Kesimpulannya adalah membaca bacaan Shadaqallahul azhim setiap selesai membaca Al Quran tidak ada dalil/tuntunannya dari Nabi dan termasuk perbuatan bid’ah। Wallahu a’lam.

(Diambil dari www.muslim.or.id)

Bangkitlah Umatku

disadur dari www. muslim.or.id

Bangkitlah Ummatku5 October, 2007
– Tingkat pembahasan: Lanjutan
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. (mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah)

Tidak asing lagi fakta kehidupan yang sedang dijalani oleh umat islam sekarang ini, berbagai petaka, bencana, penindasan, pelecehan dan berbagai fakta pilu lainnya. Dari hari ke hari, pendengaran kita tiada hentinya mendengarkan berbagai berita yang menyayat-nyayat hati, mata kita membaca berbagai lembaran kelam dari sejarah umat Islam.Musuh-musuh dari segala aliran dan bangsa dengan bengisnya menindas, menjajah, dan merampas hak umat Islam. Dengan segala kerakusan dan keserakahannya mereka merampas segala keindahan umat Islam. Semua itu berlangsung tanpa ada daya dan upaya yang dapat dilakukan oleh umat Islam untuk menangkal atau menyingkapnya.
Fakta ini benar-benar seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:
Tak lama lagi berbagai bangsa akan ramai-ramai bersekongkol atas kalian, bak persekongkolan para pemakan ramai-ramai menuju kepada piring hidangannya. Maka seorang sahabat bertanya: “Apakah karena kami kala itu berjumlah sedikit?” Beliau menjawab: “Bahkan kalian kala itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian buih bak buih air bah, dan sungguh Allah akan menyirnakan rasa takut dari dada musuh-musuh kalian, dan Ia akan mencampakkan Al Wahanu di jantung-jantung kalian.” Maka salah seorang sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Al Wahanu itu?” Beliau menjawab: “Cinta terhadap dunia dan benci akan kematian.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya, serta dishohihkan oleh Al Albany)
Walau demikian, kita tidak boleh berkecil hati atau merasa putus asa, karena Allah Ta’ala telah memberikan jaminan bahwa kemenangan, dan kejayaan pasti akan menghampiri hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
“Dan sungguh-sungguh telah Kami tuliskan (tetapkan) di dalam Zabur sesudah (Kami tuliskan dalam Laih Mahfuzh) bahwasannya bumi ini akan di warisi oleh hamba-hamba-Ku yang soleh.” (QS. Al Anbiya’: 105)
Ibnu Katsir berkata: “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa hal ini (kemenangan orang-orang soleh-pen) telah dituliskan dalam kitab syar’i (taqdir syar’iyah) dan kitab Qodari (taqdir kauniyah), dan hal itu pasti terwujud.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/201)
Pada ayat lain Allah berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan beramal soleh, bahwa Ia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Ia ridhai untuk mereka. Dan Ia benar-benar akan menggantikan (keadaan) mereka setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada menyekutukan-Ku dengan sesuatu. Dan barang siapa yang (tetap) kufur sesudah janji ini, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. An Nur: 55)
Dan pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ
“Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tegakkanya para saksi (hari Qiyamat)” (QS. Ghofir: 50)
Inilah janji Allah, inilah jaminan dari Allah, dan inilah sebagian dari imbalan bagi orang-orang yang memenuhi janji mereka kepada Allah.
Bila kita renungkan ketiga ayat di atas, niscaya kita dapatkan dengan jelas bahwa janji Allah ini tidaklah diberikan dengan tanpa syarat. Akan tetapi janji Allah ini hanya dapat digapai dengan dua syarat:
1. Syarat Pertama: Iman.2. Syarat Kedua: Amal sholeh.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Karena para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang paling banyak menegakkan perintah-perintah Allah, dan paling ta’at kepada Allah Azza wa Jalla, maka pertolongan yang mereka dapatkan sesuai dengan amalan mereka. Mereka menegakkan kalimat Allah di belahan bumi bagian timur dan barat, maka Allah benar-benar meneguhkan mereka. Sehingga mereka berhasil menguasai umat manusia dan berbagai negeri. Dan tatkala umat Islam sepeninggal mereka melakukan kekurangan dalam sebagian syari’at, maka kejayaan mereka berkurang selarang dengan amalan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/302)
Sebenarnya, lembaran sejarah yang sedang dijalani oleh umat Islam pada zaman sekarang, tidaklah lebih berat bila dibandingkan dengan lembaran sejarah yang dijalani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dituduh sebagai tukang sihir, pendusta, dan dan disakiti serta diperangi. Ada dari sahabatnya yang dibunuh dengan cara-cara sadis nan bengis, sebagaimana yang dialami oleh sahabat Yasir & Sumayyah. Ada dari mereka yang disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan, sebagaimana yang dialami oleh Ammar bin Yasir, Khabbab bin Arat, Bilal dll.
Menjalani tantangan yang sangat berat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tegar meniti setiap tahapan dakwah, tanpa kenal lelah atau kecil hati. Beliau berjuang sekuat tenaga guna mewujudkan kedua persyaratan diatas pada sahabatnya.
Dan tatkala ada dari sebagian dari sahabatnya yang merasa bahwa jalan menuju kejayaan terlalu panjang, dengan tegar beliau kembali menegaskan bahwa bila kedua persyaratan diatas telah terealisasi, maka jalan menuju kejayaan sangatlah pendek. Mari kita simak beberapa bukti akan hal ini:
Abul ‘Aliyah menyatakan bahwa ayat 55 surat An Nur di atas diturunkan pada awal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya diperintahkan untuk berperang, sehingga beliau dan para sahabatnya senantiasa dalam keadaan khawatir akan serangan musuh. Oleh karenanya, mereka senantiasa menenteng senjata, sampai-sampai salah seorang sahabat berkata kepada beliau: “Akankah selama-lamanya kita akan berada dalam ketakutan semacam ini?, mungkinkah akan datang suatu saat yang aman sehingga kamipun meletakkan senjata?” Maka Nabipun menjawab: “Tidaklah kalian bersabar melainkan hanya dalam waktu yang singkat, sampai akan datang suatu masa, yang padanya salah seorang dari kamu akan duduk berongkang-ongkang di tengah keramaian manusia, sedangkan tidak sepotong besipun (senjata) ada bersama mereka,” kemudian Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir At Thobary 18/159)
Imam Bukhori meriwayatkan dari sahabat Khabbab bin Arat radhiallahu ‘anhu, bahwa pada suatu hari beliau mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berbaring di bawah naungan Ka’bah berbantalkan selimutnya. Lalu sahabat Khabbab berkata kepada beliau: “Tidakkah engkau memohonkan pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?” Maka beliau menjawab: “Dahulu pada umat sebelum kalian ada orang yang ditimbun dalam tanah, kemudian didatangkan gergaji, lalu diletakkan di atas kepalanya hingga terbelah menjadi dua. Siksa itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya. Dan ada yang disisir dengan sisir besi, hingga terkelupas daging, dan nampaklah tulang atau ototnya, akan tetapi hal itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya. Sungguh demi Allah, urusan ini akan menjadi sempurna, sehingga akan ada penunggang kendaraan dari Sanaa’ hingga ke Hadramaut, sedangkan ia tidaklah merasa takut kecuali kepada Allah atau serigala atas dombanya. Akan tetapi kalian adalah orang-orang yang terburu-buru.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kisah ini kembali menggugah keimanan Khabbab kepada janji Allah. Sebagaimana Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegur sahabat Khabbab agar meninggalkan sikap terburu-buru dalam perjuangan di jalan Allah.
Bila sahabat Khabbab radhiallahu ‘anhu yang hanya meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan pertolongan dan berdoa, dinyatakan terburu-buru, maka bagaimana halnya dengan sikap banyak dari umat Islam pada zaman ini. Dari mereka ada yang menempuh jalan demonstrasi, pengeboman, pendirian partai politik, dan menggalang dukungan dari siapapun, serta berkoalisi dengan partai apapun, tanpa perduli dengan azaz dan idiologinya. Semua ini mereka lakukan di bawah slogan: Menyegerakan kejayaan bagi umat Islam?!! Mengusahakan jaminan hidup bermartabat bagi umat Islam?! Memperjuangkan nasib kaum muslimin?!! Bahkan dari mereka ada yang berkata: Bila umat islam tidak masuk parlemen, maka siapakah yang akan menjamin nasib mereka?!
Seakan-akan mereka tidak pernah mendengar jaminan dan janji Allah di atas. Seusai perjanjian Hudaibiyyah ditandatangani, sahabat Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu yang tidak kuasa melihat sahabat Abu Jandal radhiallahu ‘anhu diserahkan kembali ke orang-orang Quraisy, berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bukankah engkau adalah benar-benar Nabiyullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya.” Umarpun kembali berkata: “Bukankah kita di atas kebenaran, sedangkan musuh kita di atas kebatilan?” Nabipun menjawab: “Ya!” Umarpun berkata: “Lalu mengapa kita pasrah dengan kehinaan dalam urusan agama kita, bila demikian adanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sesungguhnya Aku adalah Rasulullah, dan aku tidak akan menyelisihi perintah-Nya, dan Allah adalah Penolongku.” Umar kembali berkata: “Bukankah engkau pernah mengabarkan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Ka’bah, kemudian berthowaf di sekelilingnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya, dan apakah aku pernah mengabarkan bahwa kita akan mendatangai Ka’bah pada tahun ini?” Umarpun menjawab: “Tidak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya: “Sesungguhnya engkau akan mendatangainya, dan akan bertowaf mengelilinginya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha meneguhkan kembali keimanan Umar bin Khatthab kepada janji Allah agar tidak tergoyah. Dan mengungatkannya agar bersabar dalam menanti datangnya pertolongan Allah, yaitu dengan tetap taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah seyogyanya pertolongan Allah Ta’ala digapai. Yaitu dengan keimanan yang benar dan kokoh dan kesabaran yang teguh. Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan dari mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka bersabar dan adalah mereka selalu meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24)
Ibnul Qayyim berkata: “Pada ayat ini Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Ia telah menjadikan mereka (pengikut nabi Musa-pen) sebagai pemimpin-pemimpin yang dijadikan panutan oleh generasi setelah mereka, berkat kesabaran dan keyakinan mereka. Sebab dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam hal agama dapat dicapai. Karena seorang penyeru kepada jalan Allah Ta’ala, tidaklah akan terealisasi cita-citanya, melainkan bila ia benar-benar yakin akan kebenaran misi yang ia surukan, ia menguasai ilmu tentangnya. Ia juga bersabar dalam menjalankan dakwah menuju jalan Allah, yaitu dengan tabah menahan beban dakwah dan menahan diri dari segala hal yang akan meluluhkan tekad dan cita-citanya. Barang siapa demikian ini halnya, maka ia termasuk para pemimpin yang telah mendapat petunjuk dari Allah Ta’ala.” (I’ilamul Muwaqi’in 4/135)
Kisah antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu di atas, tentu tidak selaras dengan doktrin sebagian orang bahwa: yang paling penting sekarang ini adalah kita bergerak, umat islam harus bertindak, sekarang ini bukan lagi saatnya untuk menyoal tentang asma’ was sifat, sunnah, atau bid’ah, sedangkan saudara kita di sana dibantai, di sini ditindas, disana diserang dst. Sekarang ini bukan saatnya untuk bertanya sunnah atau bid’ah? Sekarang ini saatnya kita bersatu, menggalang dukungan, melupakan segala perbedaan, dan berusaha mencari titik temu, dst.
Doktrin ini tidaklah diucapkan kecuali oleh orang yang tidak mengenal keagungan Allah Ta’ala:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya kalian mengerjakan berbagai amalan, yang di mata kalian lebih lembut dibanding rambut, padahal kami dahulu semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai amalan yang membinasakan.” (Riwayat Bukhori)
Tatkala Kholifah Umar bin Al Khotthab terluka akibat tusukan Abu Lu’lu’ah Al Majusi, ia dijenguk oleh seorang pemuda yang berkata: “Bergembiralah wahai Amirul Mukminin dengan kabar gembira dari Allah untukmu; engkau telah menjadi sahabat Rasulullah, dan banyak berjasa untuk Islam sebagaimana yang engkau ketahui sendiri, kemudian engkau dipilih menjadi pemimpin, dan engkaupun berlaku adil, kemudian engkau mati syahid.” Umarpun menjawab: “Aku berandai-andai itu semua cukup, tidak atasku dan juga tidak untukku.” Tatkala pemuda itu telah berpaling, ternyata sarungnya menyentuh tanah. Umar-pun berkata: “Panggillah kembali pemuda itu,” lalu ia berkata kepadanya: “Wahai anak saudaraku! Naikkanlah bajumu, karena dengan cara itu bajumu akan lebih awet, dan engkau lebih bertaqwa kepada Rabb-mu.” (Riwayat Bukhori)
Pada akhir hayatnya, Kholifah Umar bin Khatthab masih juga perhatian dengan masalah isbal. Beliau atau sahabat lainnya yang hadir kala itu tidak ada yang berkata: “Sekarang, bukan saatnya berbicara tentang isbal, sekarang saatnya berbicara tentang calon pengganti kholifah,” atau ucapan yang semakna.
Kholifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkirim surat kepada salah seorang panglimanya:
“Hendaknya engkau senantiasa bertaqwa kepada Allah dalam setiap situasi yang engkau hadapi, karena ketakwaan kepada Allah adalah senjata paling ampuh, taktik paling bagus, dan kekuatan paling hebat. Janganlah engkau dan kawan-kawanmu lebih waspada dalam menghadapi musuh dibanding menghadapi perbuatan maksiat kepada Allah. Karena perbuatan dosa lebih aku khawatirkan atas masyarakat dibanding tipu daya musuh mereka. Kita memusuhi musuh kita dan mengharapkan kemenangan atas mereka berkat tindak kemaksiatan mereka. Kalaulah bukan karena itu, niscaya kita tidak kuasa menghadapi mereka, karena jumlah kita tidak seimbang dengan jumlah mereka, kekuatan kita tidak setara dengan kekuatan mereka. Bila kita tidak mendapat pertolongan atas mereka berkat kebencian kita terhadap kemaksiatan mereka, niscaya kita tidak dapat mengalahkan mereka hanya dengan kekuatan kita.
Jangan sekali-kali kalian lebih mewaspadai permusuhan seseorang dibanding kewaspadaanmu terhadap dosa-dosamu sendiri. Janganlah kalian lebih serius menghadapi mereka dibanding menghadapi dosa-dosa kalian.
Ketahuilah bahwa kalian senantiasa diawasi oleh para malaikat pencatat amalan. Mereka mengetahui setiap perilaku kalian sepanjang perjalanan dan peristirahatan kalian. Hendaknya kalian merasa malu dari mereka, dan berlaku santun dihadapan mereka. Jangan sekali-kali menyakiti mereka dengan tindak kemaksiatan kepada Allah, padahal kalian mengaku sedang berjuang di jalan Allah.
Janganlah sekali-kali kalian beranggapan bahwa: “Sesungguhnya (perbuatan) musuh-musuh kita lebih jelek dibanding kita, sehingga tidak mungkin mereka dapat mengalahkan kita, walaupun kita berbuat dosa. Betapa banyak kaum yang telah dikuasai oleh orang-orang yang lebih jelek, akibat dari perbuatan dosa kaum tersebut.”
Mohonlah pertolongan kepada Allah dalam menghadapi diri kalian, sebagaimana kalian memohon pertolongan kepada-Nya dalam menghadapi musuh kalian. Sebagaimana kamipun turut memohon hal tersebut untuk diri kita dan juga untuk kalian.” (Hilyatul Auliya’ 5/303)
Subhanallah, suatu pesan yang layak untuk dituliskan dengan tinta emas, dan dibacakan kepada setiap orang yang di hatinya sedang berkobar-kobar api perjuangan demi Islam. Sudah sepantasnya pesan ini diajarkan kepada setiap pemuda Islam yang ingin memperjuangkan nasib Islam dan umatnya.
Kisah peperangan uhud dan peperangan Hunain adalah contoh kecil bagi ucapan Kholifah Umar bin Abdul Aziz: Janganlah sekali-kali kalian beranggapan bahwa: “Sesungguhnya (perbuatan) musuh-musuh kita lebih jelek dibanding kita,…”
Pada perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya menghadapi kaum kafir Quraisy. Mereka datang ke madinah guna membalas dendam atas kekalahan mereka pada perang Bader. Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanggar perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak meninggalkan pos penjagaan mereka di atas gunung, walau terjadi kejadian apapun. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
كونوا مكانكم لا تبرحوا وإن رأيتم الطير تخطفنا
“Tetaplah kalian berada di pos kalian, dan janganlah kalian berhanjak pergi, walaupun kalian menyaksikan burung-burung telah menyambar-nyambar kami.” (Al Baihaqy dll)
Akan tetapi perintah ini oleh sebagian sahabat yang bertugas menjaga pos di atas gunung dilanggar. Mereka berdalih, perang telah usai, dan musuh mulai lari tunggang-langgang, sehingga mereka merasa perlu untuk ikut mengumpulkan rampasan perang dan menawan musuh yang berhasil di tangkap. Akibat pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian sahabat ini, terjadilah kekalahan dan petaka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka dan terjatuh hingga pingsan, lebih dari tujuh puluh sahabat terbunuh dll.
Pada kisah ini, sebagian sahabat melanggar perintah untuk ittiba’ (meneladani dan mentaati) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan pada perang Hunain, sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalai akan Allah, sehingga mereka merasa percaya diri dan beranggapan tidak akan terkalahkan, karena jumlah mereka banyak. Sebagaimana Allah kisahkan hal ini dalam surat At Taubah 25:
(لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ)
“Sesungguhnya Allah telah menolong kalian di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu terperdaya oleh banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, k emudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (QS. At Taubah: 25)
Pada kisah ini sebagian sahabat yang merasa percaya diri dengan jumlah pasukan dan melalaikan tawakkal kepada Allah, maka mereka ditimpa kekalahan, walaupun akhirnya para sahabatnya yang telah kokoh keimanannya, segera kembali dan berjihad melawan musuh. Dan akhirnya Allah Ta’ala melimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya kemenangan. Pada kisah ini, kaum muslimin terkalahkan pada awal peperangan, akibat rasa ujub dan lupa tawakkal, sehingga terjadi kekeliruan dalam hal tauhid kepada Allah.
Bila kita sedikit menoleh kepada realita umat Islam pada zaman kita ini, maka kita dapatkan sangat jauh beda. Bukan sekedar dosa-dosa kecil yang diremehkan, akan tetapi berbagai dosa besar bahkan syirikpun tidak lagi diperdulikan. Berapa ribu kuburan yang dikeramatkan? Berapa juta ajimat dikantongi umat islam? Berapa ribu paranormal dan para-tidak-normal bebas membuka praktek umum. Berapa ribu habib dan kyai bebas mengajarkan bid’ah dan kesesatannya? Adakah orang yang merasa terusik, atau menggalang kekuatan dan dukungan untuk mengingkari itu semua?
Kebanyakan umat Islam sekarang ini disibukkan dengan urusan jabatan dan perebutan jatah kursi. Mereka sewot bila ada pejabat yang korupsi, akan tetapi tidak pernah sewot sedikitpun bila ada kuburan yang dikultuskan, atau bid’ah yang diajarkan.
Sebenarnya fakta ini bukanlah hal baru, akan tetapi senantiasa terjadi di sepanjang masa, mari kita simak kisah berikut:
“Dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Datang kepadaku salah seorang dari anshar (penduduk madinah) pada masa khilafah Utsman, kemudian ia berbicara kepadaku, ternyata ia memerintahkanku untuk mencela Utsman, dan ia adalah orang yang lisannya berat (susah berbicara) sehingga ia tidaklah dapat menyampaikan maksudnya dengan jelas, dan ketika ia telah selesai berbicara, sayapun menjawab: “Dahulu kami (para sahabat), semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Orang paling utama dari umat ini ialah Abu Baker, kemudian Umar, kemudian Utsman. Dan sungguh demi Allah, kami tidaklah mengathui bahwa Utsman pernah membunuh seorang jiwa tanpa alasan yang dibenarkan, tidak juga pernah melakukan dosa besar. Akan tetapi yang menjadi permasalahan ialah harta kekayaan ini (harta kekayaan khilafah/ negara), bila ia memberikannya kepada kalian, kalian ridho, dan bila ia berikannya kepada karib kerabatnya kalian menjadi murka. Sesungguhnya kalian ini ingin menjadi seperti orang-orang Persia dan Romawi, mereka tidaklah pernah memiliki seorang pemimpin, melainkan mereka bunuh sendiri.” (Riwayat Ahmad, Al Khollah dan At Thobrani)
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya cukupkan dengan menyebutkan hadits berikut:
لئن أنتم اتبعتم أذناب البقر وتبايعتم بالعينة وتركتم الجهاد في سبيل الله ليلزمنكم الله مذلة في أعناقكم ثم لا تنزع منكم حتى ترجعون إلى ما كنتم عليه وتتوبون إلى الله. رواه أحمد وأبو داود والبيهقي وصححه الألباني
“Bila kalian telah (sibuk dengan) mengikuti ekor-ekor sapi, berjual beli dengan cara ‘inna[1] dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan melekatkan kehinaan ditengkuk- tengkuk kalian, kemudian kehinaan tidak akan dicabut dari kalian hingga kalian kembali kepada keadaan kalian semula dan bertaubat kepada Allah.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Albany). Wallahu a’alam bisshowab.
[1] Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual tadi membeli kembali barang tersebut dengan harga yang lebih murah dan dengan pembayaran kontan.

Jumat, 05 Oktober 2007

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH DENGAN UANG?

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya : Hukum mengeluarkan zakat fithri dalam bentuk uang karena ada orang yang memperbolehkan hal tersebut?

Jawaban

Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah.Konsekwensi syahadat La Ilaha Ilallah adalah tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah saja, sedangkan konsekwensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah tidak menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari'atkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Zakat fithri adalah ibadah menurut ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya.

"Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) " [An-Najm : 3-4]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak termasuk agama ini maka hal itu tertolak".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari'atkan zakat fithri dengan hadits yang shahih : Satu sha' makanan atau anggur kering atau keju. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallahu 'anhu, dia berkata :

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun budak baik laki mupun perempuan kecil ataupun besar"

Dan Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan supaya zakat itu dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat Idul Fitri.Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radhiallahu 'anhu, dia berkata.

"Artinya : Kami memberikan zakat fitrah itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satu sha makanan, atau satu sha' kurma atau gandum atau anggur kering" dalam satu riwayat "satu sha' keju"

Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam zakat fithri. Dan sudah diketahui bersama bahwa pensyari'atan dan pengeluaran zakat ini ditetapkan, di tengah kaum muslimin terutama penduduk Madinah sudah ada Dinar dan Dirham, dua mata uang yang utama kala itu namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutkan keduanya dalam zakat fithri. Kalau seandainya salah satu dari keduanya boleh dipakai dalam zakat fithri tentu hal itu sudah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak boleh menunda-nunda keterangan pada saat dibutuhkan. Dan kalaulah hal itu pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentu telah dikerjakan oleh para sahabat Radhiallahu 'anhum.
Kami belum pernah mengetahui ada seorang sahabat Nabi-pun yang menyerahkan uang dalam zakat fithri padahal mereka adalah orang-orang yang paling paham terhadap sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka orang-orang yang paling keras keinginannya dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan jika mereka pernah melakukannya, tentu hal itu sudah di nukil periwayatannya sebagaimana perkataan serta perbuatan mereka lainnya yang berkaitan dengan perkara-perkara syar'i juga telah dinukil periwayatannya.

Allah berfirman."Artinya : Sungguh terdapat contoh yang baik buat kalian pada diri Rasulullah" [Al-Ahzab : 21]
Dan firman-Nya."Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]

Dari penjelasan kami ini akan menjadi jelas bagi pencari kebenaran, bahwa menyerahkan uang dalam zakat fithri tidak boleh dan tidak sah bagi si pengeluar zakat karena hal tersebut menyelisihi dalil-dalil syar'i yang telah disebutkan.Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kami dan semua kaum muslimin untuk faham terhadap agama dan istiqamah berada di atasnya serta menjauhi semua yang menyelisihi syariat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Dermawan dan Mulia.Washallahu ' Ala Nabiyina Muhammadin wa'ala alihi wa shahbihi.


BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?

Oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah

Pertanyaan

Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah ditanya : "Bolehkah menyerahkan uang dalam zakat fithri, karena terkadang uang tersebut lebih bermanfaat bagi orang-orang yang miskin?"

Jawaban

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwasanya boleh mengeluarkan uang.

Dan yang benar adalah tidak boleh, yang dikeluarkan harus makanan. Uang pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah ada, namun belum ada yang meriwayatkan bahwa beliau menyuruh para sahabat untuk mengerluarkan uang

[Demikian beberapa nukilan fatwa Ulama yang kami ketengahkan dengan terjemahan bebas. fatwa-fatwa ini kami nukilkan dari Fatawa Ramadhan halaman 918 - 927]
Catatan : Satu Sha' sama dengan kira-kira 2.5 kg

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

UCAPAN SELAMAT PADA HARI IED

UCAPAN SELAMAT PADA HARI IED

Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [1] :"Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :Taqabbalallahu minnaa wa minkum"Artinya : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian"Dan ( Ahaalallahu 'alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya.
Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi Imam Ahmad berkata : Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a'lam.[2]
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[3] :"Dalam "Al Mahamiliyat" dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :"Artinya : Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)".
Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : "Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka Imam Ahmad menyatakan : "Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)" [4] Adapun ucapan selamat : (Kullu 'aamin wa antum bikhair) atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia, maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah."Artinya : Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik.?"

[Disalin dari buku Ahkaamu Al Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
Foote Note
[1]. Majmu Al-Fatawa 24/253
[2]. Al Jalal As Suyuthi menyebutkan dalam risalahnya " Wushul Al Amani bi Ushul At Tahani" beberapa atsar yang berasal lebih darisatu ulama Salaf, di dalamnya ada penyebutan ucapan selamat
[3]. Fathul Bari 2/446[4]. Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan

Tata Cara Sholat Ied

BAGAIMANA TATA CARA SHALAT IED ?
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bgaiaman tata cara shalat ‘Ied ?

Jawaban
Cara shalat ‘ied yaitu imam berdiri mengimami manusia melakukan shalat dua rakaat. Dimulai dengan takbiratul ihram, setelah itu bertakbir 6 kali, lalu membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca surat Al-Qaf. Pada rakaat ke dua setelah bangkit dari sujud dengan mngucap takbir lalu dilanjutkan dengan bertakbir 5 kali.
Kemudian membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Qamar. Itulah dua surat yang dibaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat hari raya [1]. Ia juga bisa membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasiyah pada rakaat berikutnya.[2]Ketahuilah bahwa ada persamaan dan perbedaan tentang surat yang dibaca pada shalat Jum’at dan shalat hari raya. Persamaannya yaitu jika membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasiyah, sedang perbedaannya jika membaca surat Qaf dan surat Al-Qamar pada hari raya, maka pada waktu Jum’at membacanya surat Jum’ah dan surat Al-Munafiqun. Diseyogyakan bagi imam untuk menghidupkan sunnah ini dengan membaca surat-surat tersebut sehingga kaum muslimin tahu tentang sunnah ini dan mereka tidak mengingkarinya bila surat tersebut dibaca. Setelah itu dilanjutkan dengan khutbah, dan sebaiknya dalam khutbah menyinggung masalah-masalah khusus tentang wanita dan memerintahkan kepada mereka hal-hal yang harus mereka kerjakan, dan melarang mereka dari hal-hal yang harus mereka hindari, sebagaimana yang dikerjakan Nabi Shallallahju ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari kitab Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
Foote Note[1]. Hadits Riwayat Muslim, Kitab ‘Iedain, Bab ; Apa yang dibaca dalam shalat hari raya (607)[2]. Hadits Riwayat Muslim, Kitab Jum’ah, Bab : Apa yang dibaca saat shalat Jum’at (598)


TATA CARA SHALAT IED

Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari

Pertama :Jumlah raka'at shalat Ied ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu."Artinya : Shalat safar itu ada dua raka'at, shalat Idul Adha dua raka'at dan shalat Idul Fithri dua raka'at. dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Dikeluarkan oleh Ahmad 1/370, An-Nasa'i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Al Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]

Kedua :Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain,-pent)Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata :"Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku" [1]
Berkata Imam Al-Baghawi :"Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada rakaat pertama shalat Ied sebanyak tujuh kali selain takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan selainnya" [Ia menukilkan nama-nama yang berpendapat demikian, sebagaimana dalam " Syarhus Sunnah 4/309. Lihat 'Majmu' Fatawa Syaikhul Islam' 24/220,221]

Ketiga :Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat Ied[2] Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata : "Ibnu Umar -dengan semangat ittiba'nya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir" [Zadul Ma'ad 1/441]
Aku katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" hal 348 :"Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Ied diriwayatkan dari Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih.Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif (lemah). Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarang"Dalam 'Ahkmul Janaiz' hal 148, berkata Syaikh kami :"Siapa yang menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan tauqif dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka silakan ia untuk mengangkat tangan ketika bertakbir".

Keempat :Tidak shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Ied. Akan tetapi ada atsar dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu [3] tentang hal ini. Ibnu Mas'ud berkata :"Artinya : Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Azza wa Jalla"Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :"(Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) diam sejenak di antara dua takbir, namun tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut".Aku katakan : Apa yang telah aku katakan dalam masalah mengangkat kedua tangan bersama takbir, juga akan kukatakan dalam masalah ini.

Kelima :Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain membaca surat Al-Qamar[4] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al-A'la dan surat Al-Ghasyiyah[5]Berkata Ibnul Qaooyim Rahimahullah :"Telah shahih dari beliau bacaan surat-surat ini, dan tidak shahih dari belaiu selain itu"[6]

Keenam :(Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun. [7]

Ketujuh :Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Ied berjama'ah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at.Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam "Shahihnya" :"Bab : Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua raka'at" [Shahih Bukhari 1/134, 135]
Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari" 2/550 berkata setelah menyebutkan tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di atas).Dalam tarjumah ini ada dua hukum :Disyariatkan menyusul shalat Ied jika luput mengerjakan secara berjamaah, sama saja apakah dengan terpaksa atau pilihan.Shalat Id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua raka'atBerkata Atha' : "Apabila seseorang kehilangan shalat Ied hendaknya ia shalat dua rakaat" [sama dengan di atas]
Al-Allamah Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan :"Ini adalah madzhabnya Syafi'i, yaitu jika seseorang tidak mendapati shalat Ied bersama imam, maka hendaklah ia shalat dua rakat, sehingga ia mendapatkan keutamaan shalat Ied sekalipun luput darinya keutamaan shalat berjamaah dengan imam". Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla[8] untuk shalat Ied. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali"[9]
Berkata Imam Malik dalam 'Al-Muwatha' [10]"Setiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-lai maupun perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al-Fatihah) dan lima kali pada raka'at kedua sebelum membaca (Al-Fatihah)"Orang yang terlambat dari shalat Id, hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat Id. sebagaimana shalat-shalat lain [Al-Mughni 2/212]

Kedelapan : Takbir (shalat Ied) hukumnya sunnah, tidak batal shalat dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada perselisihan [11] Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-halabi Al-Atsari hal. 23-24, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]

Foote Note.
[1]. Riwayat Abu Daud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi 3/287 dan sanadnya Shahih. Peringatan : Termasuk sunnah, takbir dilakukan sebelum membaca (Al-Fatihah). sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud 1152, Ibnu Majah 1278 dan Ahmad 2/180 dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Id tujuh kali pada rakaat pertama kemudian beliau membaca syrat, lalu bertakbir dan ruku' , kemudian beliau sujud, lalu berdiri dan bertakbir lima kali, kemudian beliau membaca surat, takbir lalu ruku', kemudian sujud". Hadits ini hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat Irwaul Ghalil 3/108-112. Yang menyelisihi ini tidaklah benar, sebagaimana diterangkan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad 1/443,444
[2]. Lihat Irwaul Ghalil 3/112-114
[3]. Diriwayatkan Al-Baihaqi 3/291 dengan sanad yang jayyid (bagus)
[4]. Diriwayatkan oleh Muslim 891, An-Nasa'i 8413, At-Tirmidzi 534 Ibnu Majah 1282 dari Abi Waqid Al-Laitsi radhiyallahu 'ahu.
[5]. Diriwayatkan oleh Muslim 878, At-Tirmidzi 533 An-Nasa'i 3/184 Ibnu Majah 1281 dari Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu.
[6]. Zadul Ma'ad 1/443, lihat Majalah Al-Azhar 7/193. Sebagian ahli ilmu telah berbicara tentang sisi hikmah dibacanya surat-usrat ini, lihat ucapan mereka dalam 'Syarhu Muslim" 6/182 dan Nailul Authar 3/297
[7]. Untuk mengetahui hal itu disertai dalil-dalilnya lihat tulisan ustadz kami Al-Albani dalam kitabnya 'Shifat Shalatun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kitab ini dicetak berkali-kali. Dan lihat risalahku 'At-Tadzkirah fi shifat Wudhu wa Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, risalah ringkas.
[8]. Tidak dinamakan ini qadla kecuali jika keluar dari waktu shala secara asal.
[9]. Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu 5/27-29
[10].Nomor : 592 -dengan riwayat Abi Mush'ab.
[11]. Al-Mughni 2/244 oleh Ibnu Qudamah

Hukum Berzikir Dengan Suara Keras

HUKUM MENGANGKAT SUARA KETIKA BERDZIKIR SETELAH SHALAT.
Oleh Syaikh Muhammad nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimana hukum mengeraskan suara dalam dzikir setelah shalat?"

Jawaban.
Ada suatu hadits dalam Shahihain dari Ibnu 'Abbas, ia berkata:

"Artinya : Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras".

Akan tetapi sebagian ulama mencermati dengan teliti perkataan Ibnu 'Abbas tersebut, mereka menyimpulkan bahwa lafal "Kunnaa" (Kami dahulu), mengandung isyarat halus bahwa perkara ini tidaklah berlangsung terus menerus.Berkata Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.Ini mengingatkanku akan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang bolehnya imam mengeraskan suara pada bacaan shalat padahal mestinya dibaca perlahan dengan tujuan untuk mengajari orang-orang yang belum bisa.Ada sebuah hadits di dalam Shahihain dari Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu terkadang memperdengarkan kepada para shabahat bacaan ayat Al-Qur'an di dalam shalat Dzuhur dan Ashar, dan Umar juga melakukan sunnah ini.
Imam Asy-Syafi'i menyimpulkan berdasarkan sanad yang shahih bahwa Umar pernah men-jahar-kan do'a iftitah untuk mengajari makmum ; yang menyebabkan Imam ASy-Syafi'i, Ibnu Taimiyah dan lain-lain berkesimpulan bahwa hadits di atas mengandung maksud pengajaran. Dan syari'at telah menentukan bahwa sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi.Walaupun hadits : "Sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi (perlahan)". Sanad-nya Dhaif akan tetapi maknanya 'shahih'.Banyak sekali hadits-hadits shahih yang melarang berdzikir dengan suara yang keras, sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy'ari yang terdapat dalam Shahihain yang menceritakan perjalanan para shahabat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Musa berkata : Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kamipun mengeraskan suara-suara dzikir kami. Maka berkata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak pula ghaib. Sesunguhnya kalian berdo'a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian sendiri".

Kejadian ini berlangsung di padang pasir yang tidak mungkin mengganggu siapapun. Lalu bagaimana pendapatmu, jika mengeraskan suara dzikir itu berlangsung dalam masjid yang tentu mengganggu orang yang sedang membaca Al-Qur'an, orang yang 'masbuq' dan lain-lain. Jadi dengan alasan mengganggu orang lain inilah kita dilarang mengeraskan suara dzikir.Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam."

Artinya : Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.Al-Baghawi menambahkan dengan sanad yang kuat."Artinya : Sehingga mengganggu kaum mu'minin (yang sedang bermunajat)".

[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa AlBani.Fatwa-Fatwa AlBani, hal 39-41, Pustaka At- Tauhid]
Disadur dari www.almanhaj.or.id

Menggerakan Jari dalam Tahiyat, Sunnah?

Gerak Jari Telunjuk, Sunnah [?]
أبو أوفى السلفي
——————————————————————————————————————-
Ketika kita melakukan sholat berjamaah seringkali kita jumpai ada sebagian ikhwah dalam praktek sholatnya menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud. Sebagian ikhwah yang lain merasa heran dengan hal itu karena –umumnya- sejak kecil mereka tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hal itu yakni menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud itu ada keterangan atau contoh dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam ? apakah termasuk bagian dari Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam ? Penasaran ? Mari kita ikuti pembahasan berikut :
Pembahasan tentang gerak jari telunjuk ketika tasyahud berpulang kepada hadits Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib dari Khulaib bin Syihaab. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا قَالَ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ لَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا *
Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata, "Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr –semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati): Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’
Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat) kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.’
Berkata Waail,’Ketika beliau hendak ruku’ beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’
(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’."
Hadits tersebut diriwayatkan oleh :
1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.
2. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’,il Yadain Fish Shalah hal. 27 no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.
3. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish shalah.
4. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.
5. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al Ihsan V/170-171 no. 1860.
6. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.
7. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.
8. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa annahu asyara biha wa lam yuharrik.
9. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.
10. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.
Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il bin Hujr.
Hadits ini memiliki sebuah syahid (pendukung), dari Umar bin al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
"Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa seperti ini dan Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata, ‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan’" (HR. Ibnu Adi dalam Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)
Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari ‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari ayahnya dari Umar bin al Khaththab.
Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam, " …dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis", hal ini juga dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158-159.]
Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :
1. Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
2. Imam Ibnu Hibban, juga sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
3. Imam an Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454.
4. Imam Ibnu ‘Abdil Bar telah mengisyaratkan tentang sahnya hadits ini dalam Kitabnya al Istidzkaar IV/262.
5. Sebagaimana juga Imam al Qurthubi telah menukil pen-shahih-an Ibnu Abdil Bar di atas dalam Tafsir-nya, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 43.
6. Ibnul Mullaqqin dalam Khulashatu Badril Munir I/139 no. 646.
7. al Hafizh al Baihaqi telah menshahihkan, sebagaimana yang dikatakan oleh al Khaththib asy Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj I/255
8. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam Kitab Zaadul Ma’ad (I/239)
9. Syaikh al Albani telah menshahihkannya dalam banyak kitabnya, diantaranya : Shifat Shalat Nabi hal. 158, Tamamul Minnah hal. 214, Shahih Sunan Abi Dawud no. 717, Shahih Sunan an Nasai dan Irwaa-ul Ghalil no. 352.
Kesimpulan : Hadits Wail bin Hujr dari jalan Zaaidah dari ‘Ashim adalah hadits Shahih sebagaimana keterangan diatas.
Pertanyaan : "Bukankah ada sebagian ulama yang mendhoifkan hadits diatas dengan alasan tambahan lafadz yuharrikuha (يحركها) pada hadits tersebut adalah syadz karena Zaaidah bin Qudamah telah menyendiri dalam meriwayatkan lafadz يحركها?"
Maka dijawab : Shahih… ada sebagian ulama yang menyatakan hadits tersebut adalah hadits syadz karena tambahan lafadz يحركها. tidak diriwayatkan kecuali dari jalan Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib. Sedangkan setidaknya ada 22 rawi yang meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Khulaib hanya dengan lafadz إشارة (Isyarat) tanpa ada tambahan يحركها. Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Adapun hadits dengan lafadz Isyarat yang dimaksud adalah :
رأى النبي صلى الله عليه وسلم صلى فكبر فرفع يديه فلما ركع رفع يديه فلما رفع رأسه من الركوع رفع يديه وخوى في ركوعه وخوى في سجوده فلما قعد يتشهد وضع فخذه اليمنى على اليسرى ووضع يده اليمنى وأشار بإصبعه السبابة
"Aku melihat Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir …… dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …" (HR. Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)
Maka dijawab : Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus melihat kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar tentang definisi syadz.
Pertama : Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz,
"Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.
Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.
Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut"
Kedua : Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah, halaman 86
إذا انفرد الراوي بشئ نظر فيه ، فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه من هو أولى منه بالحفظ أو أضبط ، كان ما انفرد به شاذا مردودأ ، وإن لم تكن فيه مخالفة لما رواه غيره وإنما رواه هو ولم يروه غيره ، فينظر في هذا الراوي إلمنفرد ، فإن كان عدلا حافظا موثوقأ وإتقانه وضبطه ، قبل ما انفرد به ، ولم يقدح الانفراد به ، وإن لم يكن ممن يوثق بحفظه وإتقانه لذلك الذي انفرد به ، كان انفراده خارما له مزحزحا له عن حيز الصحيح ، ثم هو بعد ذلك دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال ، فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة الحافظ الضابط المقبول تفرده ، استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث الضعيف ، وإن كان بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ المنكر . . "
"Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari)". —- selesai perkataan Ibnu Shalah —–
Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal yang harus kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin Qudamah tersebut syadz atau tidak:
Pertama :Memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah,
1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, "(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)"
2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, "Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)"
Berkata Syaikh al Albani, "Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu" (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)
Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.
Kedua : Memeriksa apakah ada pertentangan antara lafadz tahrik bertentangan dengan lafadz Isyarat ? Jawaban yang tepat bahwasanya tidak ada pertentangan antara lafadz tahrik dan isyarat baik ditinjau secara lughoh maupun dari dalil.
Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,
"Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak".
Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)
Hadits yang dimaksud adalah :
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيته وهو شاك فصلى جالسا وصلى وراءه قوم قياما فأشار إليهم أن اجلسوا فلما انصرف قال إنما جعل الإمام ليؤتم به فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا
Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.
Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.
Sehingga di dalam kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan kesimpulannya, "Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya"
Kesimpulan : Bahwasanya hadits tahrik Zaaidah bin Qudamah bukanlah hadits syadz, justru hadits inilah yang menjelaskan tentang keumumam lafadz isyarat dalam hadits yang diriwayatkan dari selain Zaaidah bin Qudamah. Allahu A’lam
Pertanyaan : "Ada beberapa hadits yang justru menjelaskan bahwasanya Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ), bagaimana penjelasannya ?"
Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ) , setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :
Hadits Pertama : hadits Abdullah bin Zubair, yakni :
حدثنا حجاج عن بن جريج عن زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله عن عبد الله بن الزبير أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها قال بن جريج وزاد عمرو بن دينار قال أخبرني عامر عن أبيه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى
Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad bin Ajlan dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menerangkan, " Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya." Berkata Ibnu Juraij, "Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) : Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ " (HR Abu Dawud no 989)
Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi, berikut haditsnya :
Riwayat Imam Nasa’i 3/32 :
حدثنا حجاج قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها
Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132 :
أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا لا يحركها
Keterangan dan Takhrij Hadits :
1. Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum di sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. ( المصيصي حجاج بن محمد )
2. Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman (زياد بن سعد بن عبد الرحمن ), seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib 1/268 & Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)
3. Perkataan Ibnu Juraij " Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya." Menunjukkan bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi :
a. Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas "telah mengkhabarkan kepadaku" (أخبرني ). Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi diatas.
b. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya " ia berkata" (قال ). Coba lihat riwayat Imam Abu Dawud diatas.
4. Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.
Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah bin Zubair dengan dua jalan.
Jalan pertama :
· حجاج Hajjaj -
· بن جريج Ibnu Juraij -
· زياد Ziyad -
· محمد بن عجلان Muhammad bin Ajlan -
· عامر بن عبد اللهAmir bin Abdillah -
· Abdullah bin Zubair - عبد الله بن الزبير
Dengan Lafadz : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها " Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya."
Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu :
Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits. Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati tambahan لا يحركها kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-206 dan Taqribut Tahzhib 1/154)
Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam : Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.
Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai lafadz عن), dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.
Pertanyaan :"Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu : telah menceritakan kepadaku (حدثني) yang menunjukkan ia betul telah mendengar dan sekaligus hilanglah tadlisnya ?
Maka dijawab : " betul" untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :
عن يحيى بن سعيد عن بن عجلان قال حدثني عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته
Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, " Telah menceritakan kepadaku Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata , ‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya dan tangan kirinya diatas paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani)
Pertanyaan : Adakah di hadits diatas disebut tambahan لا يحركها ? jawabnya, tidak ada ! maka sebetulnya hadits diatas menjadi hujjah yang memperkuat bahwa lafadz لا يحركها adalah syadz karena menyalahi rawi-rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan sendiri seperti : Yahya bin Said (hadits diatas), Abu Khalid al Ahmar, Laits (Muslim 2/90 dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan menunjukkan bahwasanya lafadz لا يحركها tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj dan Ibnu Juraij sebagai illat yang lain bagi hadits ini.
Jalan Kedua :
· حجاج Hajjaj -
· Ibnu Juraij - بن جريج
· عمرو بن دينار Amr bin Dinar -
· Amir bin Abdillah - عامر بن عبد الله
· Abdullah bin Zubair - عبد الله بن الزبير
Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى "Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ "
Pada jalan inipun terdapat dua illat, yaitu :
Pertama : Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya
Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال . Sudah maklum bahwsanya Ibnu Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz حدثني maknanya ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia menggunakan lafadz أخبرني menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya. Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz قال maka disamakan dengan angin yakni tidak diterima riwayatnya
Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah bin Zubair dengan tambahan lafadz لا يحركها adalah hadits dhoif. Allahu A’lam
Hadits Kedua : Hadits Ibnu Umar
حدثنا عمر بن محمد الهمداني ثنا زيد بن أخزم ثنا أبو عامر العقدى ثنا كثير بن زيد عن مسلم بن أبى مريم عن نافع عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده اليسرى على ركبته اليسرى ويشير بإصبعه ولا يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله
"Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : "Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon". Dan beliau berkata : "Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya". ( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)
Keterangan dan Takhrij Hadits :
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti (jujur tapi banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan : Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits لا يحركها adalah Dhoif. Allahu A’lam.
Pertanyaan : "Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits لا يحركها seperti Imam Nawawi dalam majmu’."
Maka dijawab : Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya hadits diatas Shahih (walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya hadits tersebut dhoif) maka hadits لا يحركها adalah Nafi’ sedangkan hadits يحركها adalah Musbit, sedangkan sudah ma’ruf dikalangan para Ulama akan kaidah المثبت مقدم على النافي " Yang menetapkan (adanya gerak jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak ada gerak jari). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :
Pertama : al-Imam Ibnul Qayyim dikitabnya Zaadul Ma’aad 1/238-239 di ta’liq oleh Abdul Qadir Arnauth dan Syuaib Arnauth, beliau berkata :
وأما حديث أبي داود عَنْ عبد اللّه بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُشير بأصبعه إذا دعا ولا يُحركها فهذه الزيادة في صحتها نظر، وقد ذكر مسلم الحديث بطوله في ((صحيحه))عنه، ولم يذكر هذه الزيادة، بل قال: كان رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم إذا قَعَدَ في الصلاة، جعل قدمَه اليسرى بين فخذه وساقه، وفرش قدمه اليُمْنى، ووضع يَدَه اليُسرى على رُكبته اليسرى، ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى، وأشار بأصبعه.
وأيضاً فليس في حديث أبي داود عنه أن هذا كان في الصلاة.
وأيضاً لو كان في الصلاة، لكان نافياً، وحديث وائل بن حُجر مثبتاً،وهو مقدَّم، وهو حديث صحيح، ذكره أبو حاتم في ((صحيحه)).
Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan (tidak menggerak-gerakkan) perlu diteliti keshahihannya. Karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut hadits ini dengan panjang di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia tidak menerangkan tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : "Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia jadikan kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat dengan jari (telunjuk)nya.
Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh Abu Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.
Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail, sanadnya Shahih dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tentang Abdullah bin Zubair dikatakan "Sanadnya hasan dan telah dishahihkan oleh an Nawawi di Majmu’ "
Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170, beliau mengatakan :
وحديث أنه كا ن لايحركهالا يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف أبي داود " ولو ثبت فهو نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافي كما هو معروف عند العلماء
Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya, tidaklah tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah saya terangkan di Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu nafi’ (meniadakan), sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits Wail) mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang mutsbit itu didahulukan atas nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan para ulama.
Kesimpulan : Bahwasanya menggerak-gerakkan jari telunjuk waktu Tasyahud adalah merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, karena telah tsabit dari beliau akan keterangannya. Oleh karena itu hendaklah kita menjaga dan melaksanakan segala sesuatu yang merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam. Allahu A’lam
Al Faqir Abu Aufa
Maraji’ :
1. Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Pertama, Rajab 1425 H/Agustus 2004 M.
2. Terjemah Tamamul Minnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Salafy Press, Tegal, Cetakan Pertama, Jumadits Tsani 1422 H/September 2001 M.
3. Al Masaail jilid ke-2, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Daarus Sunnah, Jakarta
4. Kedudukan Hadits menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, Ustadz Dzulqarnain bin Sanusi, An-Nashihah.com melalui blog akh Abu Maulid As Salafy di http://antosalafy.wordpress.com/2007/04/03/kedudukan-hadits-menggerakkan-jari-telunjuk ketika-tasyahud/
http://antosalafy.wordpress.com/2007/04/03/kedudukan-hadits-menggerakkan-jari-telunjuk%20ketika-tasyahud/
Posted in Fiqh Islam 7 Comments
7 Responses to "Kok Gerak-gerak Jari Telunjuk… [? ? ?]"
on 27 Jul 2007 at 6:02 am1 Abu Dawud
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, akhirnya ada juga artikel yang menjelaskan bahwa hadits tahrik dalam tasyahud tidaklah syadz. Penjelasan ini sangatlah dibutuhkan karena selama ini yang ana lihat adalah artikel yang menjelaskan bahwa hadits ini syadz.
Dengan ini maka para pembaca Insya Allah dapat memilih pendapat yang lebih rajih, yaitu menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud, dan ini adalah Sunnah Rasulullah Sallaaahu ‘Alahi wassalam yang sahih.
Allahu A’lam
Semoga sunnah ini tetap terjaga.
on 30 Jul 2007 at 9:34 am2 suprie
Terima Kasih semoga bermanfaat bagi para pembaca Amien…..!!!
on 01 Agt 2007 at 8:27 am3 abumaulid
Namun, kami merojihkan pendapat yang tidak menggerak-gerakkan jari telunjuk dalam tasyahud karena tahrik itu haditsnya syad (ganjil). Dan perlu diketahui bahwa kami tetap menghormati pendapat yang berlainan tentang masalah ini. Kita berlapang dada dalam masalah ini karena masing-masing memegangi dalil. Barakallahu fiikum wa jazakallahu khairan
Wa fiikum Baarakallahu ya Akhy karim… shahih kita harus berlapang dada dalam permasalahan ini, yang ada bagi kita adalah sebisa mungkin untuk menelaah dalil-dalil dari setiap pendapat yang ada… adapun tentang hadits tahrik adalah hadits syadz, telah berlalu penjelasannya diatas… silahkan pembaca telaah.. Allahu A’lam..
on 12 Agt 2007 at 7:48 am4 adawiyah
assalamu’alaikum.bagaimana dengan gerakan jarinya? apakah ada penjelasan mengenai itu?
Wa’alaikumusalam Warahmatullahi Wabarakatuh.. Hal yang cepat kita tangkap ketika ada perintah menggerak-gerakkan jari adalah dengan menggerakkan jari ke atas dan kebawah karena hal ini mudah untuk dilakukan.. hal ini juga sesuai dengan struktur dari telunjuk jari.. Allahu A’lam
on 15 Agt 2007 at 1:02 am5 AmruL
Assalammu’alaikum…Terima kasih atas penjelasan yg menenangkan pikiran saya, dan menghilangkan keraguan akan permasalahan ini
on 19 Agt 2007 at 4:37 am6 ninetriple1
Assalamualaykum Warahmatullahi WabarakatuhAlhamdulillah, terimakasih, saya menjadi tenang dgn perkara ini
on 05 Sep 2007 at 5:39 am7 abdi ti bandung
Assalamu’alaikum..
ana masih ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, mohon jawabannya akh..
1. "…ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya TIDAK MELAMPAUI ISYARATNYA"pertanyaannya: apakah pandangan mata kita ketika itu boleh melihat kemana saja, asal tidak melampaui isyaratnya (telunjuk), sebagian mengharuskan melihat telunjuk, adakah dalil yang menerangkan harus melihat telunjuk?
2. waktu sholat berjamaah, apakah gerakan isyaratnya dilakukan sampai imam bangkit? apabila imam belum bangkit, tetapi kita sudah selesai bacaannya, apakah tetap di gerakkan?
Syukron jazilan akh…afwan banyak nanya, masih belajar…
Wassalam…
Wa’alaikumusalam Warahmatullahi Wabarakaatuh..1. Sependek yang ana tahu bahwasanya perkataan "pandangannya tidak melampaui isyaratnya" bermakna pandangan mata tidak melebihi telunjuknya/harus melihat ke telunjuk jarinya.. hal itu sebagaimana dijelaskan Dalam hadits riwayat Muslim dan Abu Uwanah disebutkan bahwa Nabi SAW merenggangkan telapak tangan kiri diatas lutut kirinya. Tetapi Beliau SAW menggenggam semua jari tangan kanannya dan mengacungkan telunjuknya ke kiblat. Lalu mengarahkan pandangan mata ke telunjuknya. (Silahkan baca Sifat Sholat Nabi oleh Syaikh Albani Rahimahullah)
2. Dari hadits diatas diperoleh keterangan bahwasanya menggerak-gerakkan jari itu selama berdoa.. Allahu A’lam.